Senin, 10 Desember 2012


INILAH HIDUPKU
tak terasa ujian kenaikan sudah dekat. Semua santri disibukkan dengan belajar, belajar dan belajar. Tak terkecuali aku dan ukhti ila. Disela-sela kami belajar, aku menanyakan sesuatu kepada ukhti Ila.
            “Ukhti, setelah lulus mau kemana? ”
            “Entahlah nis, mungkin ukhti akan meneruskan sekolah di Yogyakarta, biar ndak jauh-jauh dari rumah uhkti” Jawab Ukhti Ila.
Aku menghentikan membacaku, setelah mendengar jawaban dari ukhti Ila.
            “Berarti Ukhti akan meninggalkan pesantren ini? Ukhti akan meninggalkan Nisa? Ukhti akan meninggalkan semuanya?” Tak terasa butiran-butiran air mata ini mengalir di pipiku.
Ukhti Ila beranjak dari meja belajarnya menuju tempatku menangis, kemudian langsung memelukku erat. Ukhti Ila juga terlihat menangis saat memelukku. Isak tangispun menyerua diruangan ini.
            “Kalau ukhti meninggalkan pesantren ini, Nisa dengan siapa ukhti? Ukhti yang selalu ada buat Nisa, Ukhti yang selalu semangatin Nisa, Uhkti yang mengerti Nisa, Nisa dengan siapa Ukhti? Dengan siapa?”
            “Istigfar Nisa, Allah yang selalu ada bersama Nisa. Disini juga ada umi Sarah, mas Fahri dan santri-santri lain yang juga sayang sama Nisa sama seperti Ukhti” Jawab ukhti Ila sambil mengusap air mataku.
            “Astagfirullah, maafkan Nisa ukhti. Nisa hanya tidak ingin kehilangan sosok kakak yang seperti Ukhti”
            “ Nisa tidak akan pernah kehilangan Ukhti, jika ukhti selalu Nisa sebut dalam setiap do’a Nisa. Begitupun sebaliknya, Nisa ndak akan pernah hilang dari hati ukhti, karna insyaAllah dalam setiap do’a ukhti selalu ada nama Nisa. Kita serahkan semua pada Allah. Karena DIA’lah yang sebenarnya maha memiliki. Meliliki Nisa dan memiliki ukhti. Jadi, sudah ya nangisnya…” Ucap Ukhti Ila menenangkanku.
Akupun mulai sedikit tenang. Ukhti Ila menyuruhku segera beristirahat, karna hari memang sudah larut malam, agar ujian besok berjalan lancar. Malam ini merupakan malam yang sungguh penuh makna bagiku. Dimana indahnya keluarga sangat aku rasakan saat itu.

Illahi…
Sungguh besar NikmatMu
Rasanya tak pantas ku menerimanya
Jika ku ingat dosa-dosaku kepadaMU
Namun ku tahu KAU Maha Pengasih
Ku tahu KAU Maha Pemurah
Maka,
Tetapkan Iman di Jiwaku
Tetapkan Taqwa di ragaku
Jangan biarkan kekufuran menguasaiku
Dan biarkan aku menjadi hamba yang selalu bersyukur kepadaMU
Bersyukur atas semua yang KAU beri untukku


Ujianpun telah selesai. Kami para santri sedikit lega dengan berakhirnya ujian kenaikan kelas ini. Usaha telah kami maksimalkan, dan hanya tawwakal yang dapat kami lakukan saat ini. Memasrahkan semua hasil usaha kepada Allah Swt. Karena hanya DIA lah yang yang maha segalanya.
Detik-detik kenaikan kelas mulai terasa. Sebentar lagi hasil ujian kami akan diberikan dalam bentuk raport. Setelah raport diberikan, aku bergegas menuju kamar untuk menemui ukhti Ila.
“Assalamu’alaikum ukhti.. Alhamdulillah Nisa naik kelas, hasilnyapun lumayan bagus lho. Trimaksih ya ukhti, ukhti telah banyak membantu Nisa ”.
“Wa’alaikumsalam. Alhamdulillah kalau begitu. Barakallah untuk nilai dan kenaikanmu Nisa” Jawab ukhti Ila.
Sedangkan ukhti Ila tidak perlu diragukan lagi. Ukhti Ila lulus dengan nilai terbaik.
            “Selamat ya ukhti” Ucapku dan langsung memeluk ukhti Ila.
Namun, lagi-lagi air mata ini menetes. Aku merasakan ketakutan yang amat. Entah karena apa. Apakah aku takut kehilangan ukhti Ila? Ya, aku memang takut kehilangan orang yang saat ini kupeluk. Ukhti ila yang menyadari aku menangis langsung melepaskan pelukanku.
            “Nisa kenapa nangis? ” Tanya ukhti ila sambil mengusap air mata dipipiku.
            “Ukhti tidak serius meninggalkan pesantren ini kan? Ukhti tidak akan meninggalkan Nisa kan?”
Tanpa berkata sedikpun, ukhti ila memelukku kembali.
Setelah keadaanku sedikit tenang, ukhti Ila melepas pelukannya.
“Serahkan semua pada Allah Nisa” Ucap ukhti Ila dan langsung berjalan keluar meninggalkanku.
Aku tau ukhti Ila juga sedih. Mungkin ukhti Ila tidak ingin menunjukkannya kepadaku, ukhti Ila tidak ingin menambah kesedihannku. Aku faham itu, karna setahun dipesantren ini cukup buatku mengenal Ukhti Ila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar