INILAH HIDUPKU
tak terasa ujian kenaikan sudah dekat. Semua santri
disibukkan dengan belajar, belajar dan belajar. Tak terkecuali aku dan ukhti
ila. Disela-sela kami belajar, aku menanyakan sesuatu kepada ukhti Ila.
“Ukhti, setelah lulus mau kemana? ”
“Entahlah
nis, mungkin ukhti akan meneruskan sekolah di Yogyakarta, biar ndak jauh-jauh
dari rumah uhkti” Jawab Ukhti Ila.
Aku menghentikan membacaku, setelah mendengar jawaban
dari ukhti Ila.
“Berarti
Ukhti akan meninggalkan pesantren ini? Ukhti akan meninggalkan Nisa? Ukhti akan
meninggalkan semuanya?” Tak terasa butiran-butiran air
mata ini mengalir di pipiku.
Ukhti Ila beranjak dari meja
belajarnya menuju tempatku menangis, kemudian langsung memelukku erat. Ukhti
Ila juga terlihat menangis saat memelukku. Isak tangispun menyerua diruangan
ini.
“Kalau
ukhti meninggalkan pesantren ini, Nisa dengan siapa ukhti? Ukhti yang selalu
ada buat Nisa, Ukhti yang selalu semangatin Nisa, Uhkti yang mengerti Nisa,
Nisa dengan siapa Ukhti? Dengan siapa?”
“Istigfar
Nisa, Allah yang selalu ada bersama Nisa. Disini juga ada umi Sarah, mas Fahri
dan santri-santri lain yang juga sayang sama Nisa sama seperti Ukhti” Jawab
ukhti Ila sambil mengusap air mataku.
“Astagfirullah,
maafkan Nisa ukhti. Nisa hanya tidak ingin kehilangan sosok kakak yang seperti
Ukhti”
“
Nisa tidak akan pernah kehilangan Ukhti, jika ukhti selalu Nisa sebut dalam
setiap do’a Nisa. Begitupun sebaliknya, Nisa ndak akan pernah hilang dari hati
ukhti, karna insyaAllah dalam setiap do’a ukhti selalu ada nama Nisa. Kita
serahkan semua pada Allah. Karena DIA’lah yang sebenarnya maha memiliki.
Meliliki Nisa dan memiliki ukhti. Jadi, sudah ya nangisnya…” Ucap Ukhti Ila
menenangkanku.
Akupun mulai sedikit tenang. Ukhti Ila menyuruhku
segera beristirahat, karna hari memang sudah larut malam, agar ujian besok
berjalan lancar. Malam ini merupakan malam yang sungguh penuh makna bagiku.
Dimana indahnya keluarga sangat aku rasakan saat itu.
Illahi…
Sungguh besar
NikmatMu
Rasanya tak pantas ku
menerimanya
Jika ku ingat
dosa-dosaku kepadaMU
Namun ku tahu KAU
Maha Pengasih
Ku tahu KAU Maha
Pemurah
Maka,
Tetapkan Iman di
Jiwaku
Tetapkan Taqwa di
ragaku
Jangan biarkan
kekufuran menguasaiku
Dan biarkan aku
menjadi hamba yang selalu bersyukur kepadaMU
Bersyukur atas semua yang KAU beri untukku
Ujianpun telah selesai. Kami para santri sedikit lega
dengan berakhirnya ujian kenaikan kelas ini. Usaha telah kami maksimalkan, dan
hanya tawwakal yang dapat kami lakukan saat ini. Memasrahkan semua hasil usaha
kepada Allah Swt. Karena hanya DIA lah yang yang maha segalanya.
Detik-detik kenaikan
kelas mulai terasa. Sebentar lagi hasil ujian kami akan diberikan dalam bentuk
raport. Setelah raport diberikan, aku bergegas menuju kamar untuk menemui ukhti
Ila.
“Assalamu’alaikum
ukhti.. Alhamdulillah Nisa naik kelas, hasilnyapun lumayan bagus lho. Trimaksih
ya ukhti, ukhti telah banyak membantu Nisa ”.
“Wa’alaikumsalam. Alhamdulillah kalau begitu.
Barakallah untuk nilai dan kenaikanmu Nisa” Jawab ukhti Ila.
Sedangkan ukhti Ila
tidak perlu diragukan lagi. Ukhti Ila lulus dengan nilai terbaik.
“Selamat ya ukhti” Ucapku dan langsung memeluk ukhti Ila.
Namun, lagi-lagi air
mata ini menetes. Aku merasakan ketakutan yang amat. Entah karena apa. Apakah
aku takut kehilangan ukhti Ila? Ya, aku memang takut kehilangan orang yang saat
ini kupeluk. Ukhti ila yang menyadari aku menangis langsung melepaskan
pelukanku.
“Nisa kenapa nangis? ” Tanya ukhti ila sambil mengusap air
mata dipipiku.
“Ukhti tidak
serius meninggalkan pesantren ini kan? Ukhti tidak akan meninggalkan Nisa kan?”
Tanpa berkata
sedikpun, ukhti ila memelukku kembali.
Setelah keadaanku
sedikit tenang, ukhti Ila melepas pelukannya.
“Serahkan semua pada Allah Nisa” Ucap ukhti Ila dan
langsung berjalan keluar meninggalkanku.
Aku tau ukhti Ila
juga sedih. Mungkin ukhti Ila tidak ingin menunjukkannya kepadaku, ukhti Ila
tidak ingin menambah kesedihannku. Aku faham itu, karna setahun dipesantren ini
cukup buatku mengenal Ukhti Ila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar